Jumat, 06 Juli 2012

Perjalanan Politik Militer di Indonesia (1945-1959)


Oleh : Nurjaman (mahasiswa jurusan pendidikan sejarah UPI angkatan 2007)

Sangat menarik jika kita menelaah bagaimana kancah militer dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini tentu didasaribeberapa alasan kuat, terutama karena militer Indonesia lahir bukan sebagai sesuatu yang instan. Akan tetapi melalui beberapa proses. Proses tersebut menyangkut kondisi dalam negeri. Fase yang pertama adalah militer pada masa 1945-1949. Pada fase tersebut militer hidup dalam suasana negara Indonesia yang tengah mempertahankan kemerdekaannya.
Fase yang kedua adalah pada masa demokrasi liberal dengan sistem pemerintahan  parlementer antara tahun 1950-1959. Pada fase ini bangsa Indonesia mengalami cobaan yang berat, karena setelah mendapat pengakuan dari Belanda, indosesia menghadapi tantangan baru yaitu menjalankan pemerintahana secara mandiri. Hal ini menjadi berat karena Belanda sebenarnya tak pernah melatih secra khusus bangsa Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.
Pada setiap fase di atas, militer berkembang dan meletakkan dasarnya khususnya dalam perpolitikan Indonesia. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan melalui beberapa uraian dibawah ini.
  • Militer pada masa 1945-1950
Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Keunikan inilah menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusn politik Indonesia. 
Seperti yang telah dijelaskan di atas, militer Indonesia tidak dibentuk dengan instan. Militer di Indonesia dibentuk dari embrio yang telah ada, antara lain Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), tentara Hindia Belanda (KNIL) serta badan-badan perjuangan (laskar). Pada masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Belanda datang untuk mengambil kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Kedatangan belanda ditandai dengan  mendaratnya Inggris bersama tentara Belanda di Sabang, Aceh pada tanggal 23 agustus 1945. Lalu, Tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook.
Kedatangan NICA tersebut mengawali perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Selanjutnya, yang paling dekat dengan pembahasan ini adalah keterlibatan Militer dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Yang disebut suhartono sebgaai periode Aksi. Sebuah periode yang sangat menonjolkan peran militer sebagai pihak yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu dari peran militer ini adalah ketika belanda melancarkan agresi, baik agresi yang pertama maupun yang kedua. Menghadapi agresi ini, militer Indonesia mengembangkan “Sistem Wehrkreise” yang pada intinya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya.
Kemandirian pertahanan melingkar ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat dan sumber daya yang berada di lingkaran pertahanan tertentu. Sistem Wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan dalil-dalil perang gerilya sebagai bentuk operasional taktik militer di medan pertempuran. Sistem ini pertama kali digunakan oleh Divisi I/Siliwangi di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan Divisi II/Sunan Gunung Jati di Jawa Tengah yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto. Konsepsi baru ini diadopsi oleh Panglima TNI Jenderal Sudirman melalui Perintah Siasat No.1. Perintah siasat ini menginstruktikan pembentukan kantong-kantong di setiap distrik militer yang diselenggarakan oleh suatu Wehrkrise sehingga seluruh pulau akan menjadi suatu medan perang gerilya yang besar.
Dengan sistem ini, membuat sipil dan militer cukup dekat waktu itu. Dan selanjutnya, hubungan mesra itu berlanjut. Sampai pada ketika terjadi serangan agresi belanda II ke yogyakarta. Sebelum serangan militer belanda, Soekarno pernah berpidato bahwa jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya, dia sendiri yang akan memimpin perang grilya.
Namun, ketika serangan itu tiba, Soekarno dan pemimpin republik merencanakan tetap tinggal. Artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi kalangan militer tentu kecewa, terutama bagi kalangan perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk bergrilya. Peristiwa ini menurut Ulf Sundhaussen merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.
Kejadian-kejadian di atas lah yang memperkuat legitimasi atas keterlibatan militer dalam perpolitikan di Indonesia.
  • Militer pada masa1950-1959
Periode ini RI diguncang oleh gangguan gerakan separatisme dan di sana-sini timbul gerakan lokal. Lewat TNI gerakan-gerakan itu dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas PRRI/PERMESTA (1957/1958). Karya Nasution di atas masih relevan untuk memperkuat posisi TNI sebagai pengawal keamanan.  Setelah penyerahan kedaulatan dari RIS ke Negara Kesatuan RI peran politik militer dibatasi. Kedudukan militer dikembalikan ke masa awal proklamasi dalam hubungan seimbang karena diberlakukannya UUDS 1950 yang menempatkan sipil di atas militer sebagai manifestasi demokrasi liberal Barat.
Hubungan sipil-militer makin renggang dan tidak stabil. Di satu pihak sipil membuat divisi-divisi dalam militer dan menentangusaha-usaha militer membentuk standar profesional, sedang militer sebenarnya mendukung upaya pembangunan demokrasi parlementer yang pada waktu yang bersamaan akan terbentuk profesionalisme militer yang otomatis terpisah dari aktifitas politik kepartaian. Rupanya pemerintah tidak tanggap terhadap keinginan militer yang ditandai eengganan parlemen untuk tidak dapat menerima standar profesional militer maka muncullah Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai tanda  kekesalan militer. Selain itu, militer juga kesal terhadap para politisi partai di parlemen. Mereka bukannya meluluskan perundang-undangan yang mendesak siperlukan, melainkan menyibukkan diri untuk menjatuhkan kabinet.
Belum juga beres tentang parlemen dan kabinet,negara yang baru di akui ini juga menghadapi berbagai pemberontakan daerah/lokal. Kondisi seperti inilah yang mendorong militer sebagai alat pertahanan dan keamanan negara merasa mempunyai tanggung jawab yang penuh untuk segera mengambil tindakan cepat guna mengatasi kekacauan dalam negeri tersebut. Ketidakstabilan kondisi negara pada masa Demokrasi Liberal dianggap sebagai akibat gagalnya pemerintah sipil dalam mengendalikan pemerintahan. Dari sinilah militer terdorong untuk mengambil peranan dalam bidang politik mengingat peranan militer sangat besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.
Menurut Daniel Lev beban berat yang harus di pikul TNI menyebabkan adanya pemikiran memegang peranannya dalam urusan negara. Kesempatan ini terbujka lebar pada 1956-1957, yaitu dengan munculnya konflik daerah melawan pusat yang semakin memuncak. Ali Sastroamidjojo mengembalkikan mandat dan presiden Soekarno memberlakukan Undang-undang Keadaan Darurat (SOB) pada bulan Maret 1957 dan atas dasar SOB itulah dibentuk sebuah Lembaga Dewan Nasional, yang di dalamnya terdapat para perwira militer sebagai anggotanya. Untuk mengantisipasi kudeta yang dilakukan oleh militer, maka muncullah gagasan konsep jalan tengah yang berisi jaminan tentara tidak akan melakukan kudeta. Konsep jalan tengah yang diambil dari pemikiran nasutin itu adalah Dwi fungsi ABRI. Konsep Dwifungsi ABRI inilahyang memberipeluang besar bagi tentara untuk berperan dalam kehidupan sosial-politi, menduduki jabatan strategis, dan melakukan bisnis.
Kesimpulan
Ada beberapa faktor yang mendorong militer maju kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional, ambisi mempertahankan privillege seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan, memperoleh dan mengunakan anggaran pertahanan serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.
Juga dari segi historis sendiri, yang melegitimasi militer sebagai pihak yang mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya memperthankan kemerdekaan. Menurut Ulf Sendhaussen (1982), militer menganggap bahwa dirinya sebagai satu-satunya kekuatan yang bertempur untuk kemerdekaan Indonesia, ketika orang lain sudah menyerah. Tentara mulai melihat dirinya sebagai “pemegang saham revolusi”, dengan kewajiban mengawasi kesejahteraan bangsa.
Militer juga mempunyai alasan subjektif, yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan internal TNI oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan dikalangan perwira TNI sendiri, serta tidak disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh TNI.
Bibliografi
Sendhaussen, Ulf. (2001). “Bung Karno dan Militer”, dalam Dialog dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Zed, Mestika. (2001). “Soekarno di Masa Krisis PDRI”, dalam Dialog dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Suhartono. (1999). Hubungan Sipil-Militer: Tinjauan Historiografis 1945-1998 Pola, Arah, Dan Perspektif.[Online].Tersedia:http://www.detik.com/berita/199905/suhartono.html [26 Februari 2010].
http://www.wikipedia.org/sejarah-indonesia-1945-1949.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar